PERBEDAAN PARADIGMA ORANG JAWA DENGAN PAPUA
Hampir di seluruh jagad Tanah Papua, orang Jawa giat dan tekun dengan wirausahanya. Mereka tidak merasa malu mendorong gerobak bakso, gerobak es ting-ting, gerobak kue, dan gerobak untuk warung-warung di pinggiran jalan. Ada juga yang hanya sebagai penjaga toko. Ada juga yang ikut jadi kondektur, dan kuli-kuli bangunan. Ada juga yang baru tiba di Papua langsung jadi tukang ojek. Pokoknya bagi mereka, tidak ada hidup bermalas-malasan. Ada juga yang orang Papua sebut mas cicilan atau mbak cicilan. Mereka ini pergi pulang jawa hanya untuk berjualan pakaian dan sebagainya kepada orang Papua dengan cara pembeli membayar dengan cicil. Mungin sebulan sekali, dua minggu sekali. Tergantung pada kesepakatan dan perjanjian antara yang menjual dan yang memberli. Apapun bentuk pekerjaannya, ada kesempatan mereka pasti akan kerja yang penting halal. Anda mungkin pernah mendengar istilah “kita juga kan sedang mencari”. Itulah istilah yang pernah saya dengar waktu ngojek bersama mereka di pangkalan.
Pada prinsipnya, terlihat dan perlu diakui bahwa orang jawa ini sangat ulet dalam hal bekerja. Makanya jangan heran, mereka bisa ada dimana-mana dan menggeluti dunia wirausaha.
Orang Papua hanya menjadi konsumen. Tidak ada yang dorong gerobak bakso, Gerobak es ting-ting, buka warung di pinggiran jalan, atau jual cicilan pakaian dan sebagainya. Katanya gensi dorong gerobak. Tapi kalau beli atau makan di warung tersebut tidak gensi. Ada yang mengatakan orang Papua malas bekerja. Makanya peluang untuk bekerja itu dimanfaatkan oleh orang pendatang.
Ketika saya kuliah di Yogyakarta, di lingkungan tempat tinggal kontrakan saya biasanya ada ronda setiap malam. Saya memang tidak di jadwal untuk ikut ronda, tetapi saya membawa diri ikut juga bergabung setiap selasa malam untuk ikut ronda. Dari keikut sertaan saya dalan ronda ini saya mencoba menggali sumber inspirasi, semangat bekerja wirausaha yang di miliki oleh orang jawa.
Pertanyaan saya kepada komandan ronda Pak Leod, Pak apakah orang jawa pada umumnya memiliki tanah warisan secara turun temurun? Seperti kami di Papua: bahwa tanah yang kami miliki ada punya nenek-moyang kami, itulah yang kami sebut dengan adapt. Kata Pak Leod: di Jawa dalam hal kepemilikan tanah bukan karena turun-temurun. Tanah di Yogyakarta ini seluruh dalah milik Sultan. Masyarakat tidak punya tanah.
Kenapa sekarang mereka mengklaim ini tanah mereka bahkan telah mereka buatkan sertifikat? Hal pertama : Sejarahnya itu, orang jawa itu di jajah oleh bangsa Belanda selama 350 tahun. Mereka menggarap sawah dan ladang secara paksa. Setelah Belanda di taklukan Jepang dan orang jawa di jajah lagi oleh Jepang. Tetapi setelah Jepang menyerah dan pulang, jelaslah bahwa orang jawa telah merdeka dan bebas.
Selama mereka dikerjakan paksa oleh Belanda dan Jepang, mereka tidak pernah dibayarkan upahnya. Jadi, ketika Belanda dan Jepang pulang maka tanah-tanah dimana mereka dipaksa bekerja oleh Belanda dan Jepang mereka klaim sebagai tanah mereka. Mereka menganggap itu sebagai upah mereka, karena selama bekerja mereka tidak pernah diberi upah.
Sekalipun tanah itu adalah milik sultan, tetapi berdasarkan latar belakang tersebut maka orang jawa telah memiliki tanah sendiri. Jadi, tanah yang mereka miliki bukan ahli waris dari nenek moyang mereka. Tanah tersebut adalah dalah sebagai pengganti upah selama mereka dikerjarodikan.
Orang dijawa menganut prinsip kalau mau makan ya kerja. Tidak ada seperti di Papua yang kita bisa makan tanpa harus bekerja, karena SDA masih melimpah.
PENERJEMAH BAHASA
Kamis, 22 Oktober 2009
jawa papua
PERBEDAAN PARADIGMA ORANG JAWA DENGAN PAPUA
Hampir di seluruh jagad Tanah Papua, orang Jawa giat dan tekun dengan wirausahanya. Mereka tidak merasa malu mendorong gerobak bakso, gerobak es ting-ting, gerobak kue, dan gerobak untuk warung-warung di pinggiran jalan. Ada juga yang hanya sebagai penjaga toko. Ada juga yang ikut jadi kondektur, dan kuli-kuli bangunan. Ada juga yang baru tiba di Papua langsung jadi tukang ojek. Pokoknya bagi mereka, tidak ada hidup bermalas-malasan. Ada juga yang orang Papua sebut mas cicilan atau mbak cicilan. Mereka ini pergi pulang jawa hanya untuk berjualan pakaian dan sebagainya kepada orang Papua dengan cara pembeli membayar dengan cicil. Mungin sebulan sekali, dua minggu sekali. Tergantung pada kesepakatan dan perjanjian antara yang menjual dan yang memberli. Apapun bentuk pekerjaannya, ada kesempatan mereka pasti akan kerja yang penting halal. Anda mungkin pernah mendengar istilah “kita juga kan sedang mencari”. Itulah istilah yang pernah saya dengar waktu ngojek bersama mereka di pangkalan.
Pada prinsipnya, terlihat dan perlu diakui bahwa orang jawa ini sangat ulet dalam hal bekerja. Makanya jangan heran, mereka bisa ada dimana-mana dan menggeluti dunia wirausaha.
Orang Papua hanya menjadi konsumen. Tidak ada yang dorong gerobak bakso, Gerobak es ting-ting, buka warung di pinggiran jalan, atau jual cicilan pakaian dan sebagainya. Katanya gensi dorong gerobak. Tapi kalau beli atau makan di warung tersebut tidak gensi. Ada yang mengatakan orang Papua malas bekerja. Makanya peluang untuk bekerja itu dimanfaatkan oleh orang pendatang.
Ketika saya kuliah di Yogyakarta, di lingkungan tempat tinggal kontrakan saya biasanya ada ronda setiap malam. Saya memang tidak di jadwal untuk ikut ronda, tetapi saya membawa diri ikut juga bergabung setiap selasa malam untuk ikut ronda. Dari keikut sertaan saya dalan ronda ini saya mencoba menggali sumber inspirasi, semangat bekerja wirausaha yang di miliki oleh orang jawa.
Pertanyaan saya kepada komandan ronda Pak Leod, Pak apakah orang jawa pada umumnya memiliki tanah warisan secara turun temurun? Seperti kami di Papua: bahwa tanah yang kami miliki ada punya nenek-moyang kami, itulah yang kami sebut dengan adapt. Kata Pak Leod: di Jawa dalam hal kepemilikan tanah bukan karena turun-temurun. Tanah di Yogyakarta ini seluruh dalah milik Sultan. Masyarakat tidak punya tanah.
Kenapa sekarang mereka mengklaim ini tanah mereka bahkan telah mereka buatkan sertifikat? Hal pertama : Sejarahnya itu, orang jawa itu di jajah oleh bangsa Belanda selama 350 tahun. Mereka menggarap sawah dan ladang secara paksa. Setelah Belanda di taklukan Jepang dan orang jawa di jajah lagi oleh Jepang. Tetapi setelah Jepang menyerah dan pulang, jelaslah bahwa orang jawa telah merdeka dan bebas.
Selama mereka dikerjakan paksa oleh Belanda dan Jepang, mereka tidak pernah dibayarkan upahnya. Jadi, ketika Belanda dan Jepang pulang maka tanah-tanah dimana mereka dipaksa bekerja oleh Belanda dan Jepang mereka klaim sebagai tanah mereka. Mereka menganggap itu sebagai upah mereka, karena selama bekerja mereka tidak pernah diberi upah.
Sekalipun tanah itu adalah milik sultan, tetapi berdasarkan latar belakang tersebut maka orang jawa telah memiliki tanah sendiri. Jadi, tanah yang mereka miliki bukan ahli waris dari nenek moyang mereka. Tanah tersebut adalah dalah sebagai pengganti upah selama mereka dikerjarodikan.
Orang dijawa menganut prinsip kalau mau makan ya kerja. Tidak ada seperti di Papua yang kita bisa makan tanpa harus bekerja, karena SDA masih melimpah.
Hampir di seluruh jagad Tanah Papua, orang Jawa giat dan tekun dengan wirausahanya. Mereka tidak merasa malu mendorong gerobak bakso, gerobak es ting-ting, gerobak kue, dan gerobak untuk warung-warung di pinggiran jalan. Ada juga yang hanya sebagai penjaga toko. Ada juga yang ikut jadi kondektur, dan kuli-kuli bangunan. Ada juga yang baru tiba di Papua langsung jadi tukang ojek. Pokoknya bagi mereka, tidak ada hidup bermalas-malasan. Ada juga yang orang Papua sebut mas cicilan atau mbak cicilan. Mereka ini pergi pulang jawa hanya untuk berjualan pakaian dan sebagainya kepada orang Papua dengan cara pembeli membayar dengan cicil. Mungin sebulan sekali, dua minggu sekali. Tergantung pada kesepakatan dan perjanjian antara yang menjual dan yang memberli. Apapun bentuk pekerjaannya, ada kesempatan mereka pasti akan kerja yang penting halal. Anda mungkin pernah mendengar istilah “kita juga kan sedang mencari”. Itulah istilah yang pernah saya dengar waktu ngojek bersama mereka di pangkalan.
Pada prinsipnya, terlihat dan perlu diakui bahwa orang jawa ini sangat ulet dalam hal bekerja. Makanya jangan heran, mereka bisa ada dimana-mana dan menggeluti dunia wirausaha.
Orang Papua hanya menjadi konsumen. Tidak ada yang dorong gerobak bakso, Gerobak es ting-ting, buka warung di pinggiran jalan, atau jual cicilan pakaian dan sebagainya. Katanya gensi dorong gerobak. Tapi kalau beli atau makan di warung tersebut tidak gensi. Ada yang mengatakan orang Papua malas bekerja. Makanya peluang untuk bekerja itu dimanfaatkan oleh orang pendatang.
Ketika saya kuliah di Yogyakarta, di lingkungan tempat tinggal kontrakan saya biasanya ada ronda setiap malam. Saya memang tidak di jadwal untuk ikut ronda, tetapi saya membawa diri ikut juga bergabung setiap selasa malam untuk ikut ronda. Dari keikut sertaan saya dalan ronda ini saya mencoba menggali sumber inspirasi, semangat bekerja wirausaha yang di miliki oleh orang jawa.
Pertanyaan saya kepada komandan ronda Pak Leod, Pak apakah orang jawa pada umumnya memiliki tanah warisan secara turun temurun? Seperti kami di Papua: bahwa tanah yang kami miliki ada punya nenek-moyang kami, itulah yang kami sebut dengan adapt. Kata Pak Leod: di Jawa dalam hal kepemilikan tanah bukan karena turun-temurun. Tanah di Yogyakarta ini seluruh dalah milik Sultan. Masyarakat tidak punya tanah.
Kenapa sekarang mereka mengklaim ini tanah mereka bahkan telah mereka buatkan sertifikat? Hal pertama : Sejarahnya itu, orang jawa itu di jajah oleh bangsa Belanda selama 350 tahun. Mereka menggarap sawah dan ladang secara paksa. Setelah Belanda di taklukan Jepang dan orang jawa di jajah lagi oleh Jepang. Tetapi setelah Jepang menyerah dan pulang, jelaslah bahwa orang jawa telah merdeka dan bebas.
Selama mereka dikerjakan paksa oleh Belanda dan Jepang, mereka tidak pernah dibayarkan upahnya. Jadi, ketika Belanda dan Jepang pulang maka tanah-tanah dimana mereka dipaksa bekerja oleh Belanda dan Jepang mereka klaim sebagai tanah mereka. Mereka menganggap itu sebagai upah mereka, karena selama bekerja mereka tidak pernah diberi upah.
Sekalipun tanah itu adalah milik sultan, tetapi berdasarkan latar belakang tersebut maka orang jawa telah memiliki tanah sendiri. Jadi, tanah yang mereka miliki bukan ahli waris dari nenek moyang mereka. Tanah tersebut adalah dalah sebagai pengganti upah selama mereka dikerjarodikan.
Orang dijawa menganut prinsip kalau mau makan ya kerja. Tidak ada seperti di Papua yang kita bisa makan tanpa harus bekerja, karena SDA masih melimpah.